Glider Content

18 September, 2010

KEBUDAYAAN DALAM ERA GLOBALISASI

Negara-bangsa apabila ingin bertahan dalam jaman globalisasi yang tak terbendung ini mau tak mau harus juga merubah tatanan sosial politik, hukum dan budayanya karena antara ekonomi dengan sosial politik, hukum dan budaya tak dapat dipisahkan. Globalisasi yang tengah terjadi bukan saja globalisasi ekonomi, tetapi Juga globalisasi nilai-nilai sosial potitik, hukum dan budaya. Perubahan yang tengah melanda negara-negara bekas komunis seperti Rusia, Yugoslavia, Polandia dan Cina, misalnya, bukanlah sekedar perubahan dari sistem ekonomi negara yang terkendali ke sistem ekonomi pasar, tetapi justru perubahan dalam sistern dan nilai-nilai sosial politik, hukum dan budaya. Walaupun belum sepenuhnya berubah, tetapi proses perubahan inilah yang tengah berlangsung secara menakjubkan. Hal yang sama terjadi pula pada negara-negara yang disebut sebagai negara-negara sedang berkembang terutama di Asia Timur dan Tenggara. Harus diakui bahwa hampir semua kawasan atau bagian negara di Asia termasuk Indonesia telah menjadi bagian dari proses globalisasi yang tengah terjadi dalam artian suka atau tidak suka, baik atau buruk tengah mengalami ketegangan dan benturan ekonomi, sosial politik, hukum dan budaya yang memperlemah tatanan dan nilai-nilai lama. Nilai-nilai dan tatanan baru mulai menampakkan dirinya walaupun belum sepenuhnya diterima. William Liddle, seorang pemerhati Indonesia mengatakan bahwa yang dominan di Indonesia adalah apa yang disebutnya faham inbetweenness, suatu faham yang setengah-setengah dalam artian tidak menganut ideologi liberal dan tidak juga komunis, tidak sistem ekonomi pasar bebas dan tidak pula sistem ekonomi komando. Ada baiknya mempertahankan faham ini dengan kecenderungan untuk selalu memadukan sistem, pola pikiran dan nilai-nilai yang berlawanan atau berbeda, misalnya adalah mengupayakan sintesa dari ideologi liberal dan sosialis atau pandangan Barat dan pandangan Timur dalam kehidupan. Kecenderungan ini nampaknya tetap kuat di dalam banyak bidang ekonomi, politik, hukum dan budaya. Memang Indonesia sepertinya tidak mampu dan tidak mau memilih suatu sistem secara utuh. Kita sepertinya dikendalikan oleh rasa ketidakpastian tanpa akhir. Dalam bidang ekonomi, kita menyaksikan kebijakan yang pada satu sisi sangat berpihak kepada liberalisasi ekonomi tetapi pada sisi lainnya seperti rnenegasikan liberalisasi ekonomi. Berbagai kebijakan yang memberikan lisensi khusus dengan berbagai fasilitasnya, yang pada gilirannya melahirkan oligopoli dan monopoli. Sementara pada sisi lainnya pemerintah mulai membatasi intervensi dalam kehidupan ekonomi seperti pengurangan subsidi dan sebagainya. Dalam bidang sosial budaya kita juga menemukan hal yang sama yaitu terjadinya asimilasi budaya setengah hati. Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau menerima pengaruh budaya asing padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka lebar malah tanpa visa bagi beberapa wisatawan dari negara lain. Dari sisi ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup besar, tetapi adalah tidak realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan menudingnya sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola dan siaran satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk pula nilai-nilai budaya asing. anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia (ketakutan terhadap yang asing). Inbetweenness, dapat juga kita maknai sebagai bentuk kehati-hatian, memilah-milah yang baik dan membuang yang buruk. Penafsiran kita tentang individu masyarakat sering dikaitkan orang dengan perbedaan kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat. Hal ini misalnya kita baca Barat dicirikan dengan materialisme, rasionalisme dan individualisme, sedangkan Timur dengan faham anti terhadap ketiga isme tersebut. Dalam kaitan dengan kehidupan rohani dan spiritual, Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, sedangkan Barat tidak. Perbedaan ini yang kemudian butuh kejelian kita dalam mengadopsi segala sesuatu dari orang asing dalam era globalisasi. Kekhasan khazanah budaya, di samping memberi isi kepada jati diri budaya bangsa, juga merupakan milik yang dapat diposisikan sebagai keunggulan komparatif dalam bidang industri budaya. Bangsa Indonesia dengan segala potensinya pada sumber daya manusia maupun sumber daya budayanya justru perlu dilestarikan untuk dapat menunggangi dan mengarahkan globalisasi. Kuncinya ada pada dunia pendidikan, semoga para lulusan dari sistem pendidikan Indonesia tidak menjadi penganut globalisme, yaitu menganggap nilai-nilai global yang dipromosikan oleh negara-negara industri besar dunia sebagai satu-satunya orientasi, dan dengan demikian menganggap kebudayaan bangsanya sendiri sebagai ketinggalan zaman atau kampungan. Pendidikan budaya bagsa berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya. Karena bagaikan satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda, satu sisi globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Pada sisi lainnya, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini. Bagaimanapun, globalisasi tetap memberikan ruang toleransi terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan budaya lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar